Desember 23, 2009

Film Dakwah, Ada Gituh?

Perkembangan teknologi informasi yang didukung dengan perkembangan teknologi dengan banyak terobosan baru di dunia turut menyumbangkan jalan bagi manusia untuk mengekspresikan ide-idenya. Selain menjadi bahan untuk mendapatkan inspirasi dalam menciptakan sesuatu yang baru, kreatif dan segar, teknologi juga turut menyebarluaskannya ke seluruh penjuru negara dengan dukungan transmisinya yang cepat. Manusia seakan memiliki ruang tanpa batas untuk berkreasi dan berusaha mengeksiskan dirinya ditengah masyarakat. Perkembangan teknologi yang bersinergi harmoni dengan perkembangan informasi sebenarnya sejalan juga dengan adanya film ditengah kehidupan manusia, paling tidak ketika pertama kali film hadir menemani kebersamaan dalam sebuah keluarga tempo dulu maka saat itu pula teknologi lahir dan berusaha membuat terobosan-terobosan agar lebih mudah digunakan.
Awal kelahiran film dimulai ketika film-film bisu merambah dunia pada tahun 1895. pada medio ini film adalah sesuatu yang sangat baru bagi manusia. Mereka rela mengantri panjang dan berebut kursi bioskop paling depan hanya untuk melihat film bisu yang memperlihatkan kelakuan dan gerak hewan dan manusia. Film bisu nyaris disukai oleh semua orang karena bahasa tubuh dalam film adalah bahasa yang mudah dimengerti, itu pula yang membuat Charlie Chaplin menjadi bintang kesukaan di seluruh negara. Kemudian datanglah film bersuara pertama yang disebut Talkie dengan judul The Jazz Singer pada 1927. mulai saat itu muncul istilah zaman keemasan film-film Hollywood hingga puncaknya saat televisi diproduksi massal pada era 1950-an. Sebelum televisi dibuat para kreator film hanya memproduksi film hitam-putih, namun dalam usahanya mengikuti perkembangan mereka mulai membuat film berwarna dan bersuara. Film yang sebelumnya telah berhasil menarik hati masyarakat menjadi semakin digemari. (Marry Worrall, 1992: 23-24)
Seni adalah keindahan. Ia meruapakan ekspresi ruh dan budaya manusia yang menyandang dan mengungkapkan keindahan. Ia lahir dari sisi terdalam manusia yang didorong oleh kecenderungan seniman kepada yang indah, apapun jenis keindahan itu. dorongan tersebut merupakan naluri manusia, atau fitrah yang dianugerahkan Allah kepada hamba-hambaNya. Adalah merupakan satu hal yang mustahil bila Allah menganugerahkan potensi untuk menikmati dan mengekspresikan keindahan kemudian Ia melarangnya. Bukankah Islam merupakan agama yang fitrah? Segala yang bertentangan dengan fitrahnya ditolaknya dan yang mendukung kesuciannya ditopangnya. (Quraish Shihab, 1996: 385)
Film adalah seni, bentuk ekspresi manusia yang dituangkan dalam gerak dan ucapan yang dikemas sedemikian rupa hingga menarik. Film bertujuan layaknya arah tuju komunikasi, yaitu merubah sikap (attitude change), merubah pendapat (opinion change), merubah perilaku (behaviour change), dan merubah sosial (social change) (Onong Uchyana, 1985: 10)
Di era visual lintas negara seperti sekarang ini film menjadi alternatif untuk mengkomunikasikan pesan-pesan kebenaran bagi manusia lain selain dengan cara-cara tradisional yang selama ini sudah berjalan. Film diharapkan menjadi salah satu media efektif untuk berdakwah, mengingat kemasannya sarat akan hiburan dan sesuai fitrah manusia yang menyukai hiburan yang menyenangkan.
Namun film-film dakwah saat ini harus berjuang ekstra keras melawan film-film barat yang mengusung hedonisme, materialisme, bahkan ada yang menawarkan berhala baru bagi umat muslim dengan cara terselubung. Memang tidak bisa digeneralisir, namun ironi ini semakin menjadi-jadi ketika adat ketimuran mulai dilupakan saat orang-orang keluar dari bioskop, pergaulan menjadi identitas baru anak muda bangsa ini dan penghormatan kepada yang lebih tua menjadi hal yang langka meski hanya untuk mempersilahkan duduk di kendaraan umum.
Disinilah peran masyarakat sendiri untuk lebih mampu memfilter film atau tayangan-tayangan yang nyaris disuguhkan 24 jam di depan mata kita. Menonton film bukan hanya menyaksikannya saja, setelah habis kemudian berganti ke film lainnya. Namun ada yang harus kita kritisi, ada nilai-nilai, pesan, atau mungkin propaganda yang mereka bawa, dan itulah yang harus kita sadari. Apresiasi seharusnya menjadi unsur penting yang menjadi bagian proses menikmati sebuah film, sama pentingnya dengan masalah ini agar masyarakat tidak tersesat dengan derasnya perkembangan teknologi dan informasi yang tanpa saringan.
Bagaimana cara mengapresiasi film agar tak sekedar menyaksikannya saja? Apa yang harus dilakukan untuk ‘melawan’ film-film non-dakwah? Untuk menjawab pertanyaan pertama, ada tiga tahapan untuk melakukan apresiasi film. Pertama apresiasi dilakukan sebelum menyaksikan film, apresiasi saat menikmati film dan terakhir setelah film usai. Film adalah media audio-visual yang menghibur, tanpa sadar kita akan tertawa karena gerakan atau ucapan pemeran dalam sebuah film tanpa kita pahami benar kemana arah mereka melakukannya. Karena sifatnya yang berwarna pula, nyaris membuat kita rela berlama-lama duduk didepan kotak ajaib (baca: televisi). Sekali lagi ada banyak nilai, pesan, sampai propaganda dalam sebuah film, dan itu semua akan menguap begitu saja jika kita sekedar menonton tanpa apresiasi lebih jauh (Ekky Al Malaky, 2003: 126)

a. Sebelum menyaksikan film
Pilihlah film yang bermutu. Kualitas film dapat diukur dari ghost promotion yang merebak ditengah masyarakat selama ini. Promosi ini merupakan penilaian subjektif dari mulut ke mulut antar teman, atau yang lebih formal yaitu resensi di koran-koran, majalah, tabloid, berita di televisi dengan kritikus film sebagai narasumbernya. Ada film-film yang merupakan adaptasi dari sebuah novel atau karya tulis lainnya, akan lebih menarik jika kita menyelesaikan karya tulisnya dahulu agar dapat membandingkannya dari aspek apapun yang kita temui.
b. Saat menyaksikan film
1. Skenario, inilah ujung tombak alur cerita dalam sebuah film. Apa yang akan diangkat dari film tersebut? Nilai apa saja yang terkandung didalamnya? Adakah manfaat atau edukasi dari cerita yang dibeberkannya? Pertanyaan ini adalah secuil pertanyaan bagi penonton yang kritis.
2. Sutradara, sebagai frontman, orang terdepan dalam mengawaki kru-kru lain, tugas sutradara amat penting hingga bisa dikatakan ditangannya-lah sebuah film dinilai layak atau tidak. Semakin tinggi jam terbang seorang sutradara maka semakin baik juga usahanya menyampaikan sebuah cerita lewat pita siloid.
3. Aktor & artis, sebaik apapun seorang sutradara, sebagus apapun sebuah cerita, akan menjadi pincang jika aktor dan artis tidak memiliki kemampuan akting, penghayatan, ekspresi, air muka yang tepat. Mereka-lah yang paling disorot publik, maka tugas mereka lebih dari sekedar eksis didepan kamera (on frame)
c. Setelah menyaksikan film
Film yang baik akan menyisakan ruang bagi penonton untuk mencerna cerita. Tidak harus diakhir film, namun ruang kosong ini dapat saja berada ditengah atau disela-sela obrolan antar pemeran.
Apresiasi memang bukan sebuah keharusan, hanya sebuah pilihan. Namun keberadaan apresiasi film membantu kita meraba apa tujuan sebuah film dibuat, apa yang sedang diangkat dan nilai apa yang menjadi titik penting dalam alurnya.

Apa yang harus kita lakukan untuk melawan film-film non-dakwah? Dalam Lentera hati, Quraish Shihab mengangkat judul Ikhwal Acara-acara Televisi Kita. Disana Nampak kegelisahan yang meskipun “tidak sungguh-sungguh” namun masih terasa pantas untuk waktu dewasa ini, dan penyelesaian beliau-pun amat bijaksana, tidak menghakimi hanya sebatas curahan hati yang menyentil. Beliau mengatakan, “Anda harus (Quraish Shihab, 1996: 316)
Indonesia nerupakan Negara yang kaya akan kepercayaan. Tak kurang lima agama menjadi keabsahan dalam Undang-undang 1945. Belum lagi kepercayaan-kepercayaan tradisional yang tersimpan dalam saku-saku masyarakat pedalaman untuk melanjutkan titah nenek moyang mereka. Dalam Islam, dakwah Amar Ma’ruf Nahi Munkar merupakan perintah absolut sekecil apapun bentuknya, seperti pesan Rasulullah ‘sampaikanlah dariku meski hanya satu ayat’ (Syukriadi Sambas, 2003: 68)
Film tak dapat dipungkiri merupakan media komunikasi moderen yang membawa alternatif berbeda bagi umat Islam. Bukan saatnya bagi kita untuk berdebat atau memblokir tayangan-tayangan yang dianngap menyimpang hanya dengan mulut, namun lebih tepat saat kita berusaha melawannya dengan hasil karya kita, yang dari segi kualitas tak tertinggal tapi tidak meninggalkan pentingnya substansi.

Sumber tulisan:
Al Malaky, Ekky. 2003. Remaja Doyan Filsafat, Why Not? Mizan: Bandung
Sambas, Syukriadi. 2003. Dakwah Antarbudaya, Suatu Kajian Awal. KP-HADID: Bandung
Shihab, Quraish. 1995. Wawasan Al Qur’an. Mizan: Bandung
Shihab, Quraish. 1996. Lentera Hati. Mizan: Bandung
Worrall, Marry. 1992. Oxford Ensiklopedi Pelajar. PT Intermasa: Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.