Desember 23, 2009

Retorika

Mengapa bahasa tubuh diperlukan dalam retorika?

Retorika, dengan banyak definisi yang dimilikinya, merupakan cara manusia memberi jalan pada pikirannya, semua yang dirasakannya, hingga penolakannya dengan media suara atau tutor. Kemampuan seseorang mengutarakan apa yang disampaikannya telah menjadi daya tarik bahkan kelebihan tersendiri, sejak manusia diciptakan. Malaikat bersujud ketika Adam mampu beretorika, para Rosul beretorika dengan sinergi kecerdasannya, para penyair di tanah Arab mempunyai tempat terhormat di tengah masyarakat, hingga iblis-pun sesungguhnya harus beretorika saat bernegosiasi dengan Allah SWT. Secara singkat retorika telah melekat selama manusia belum kehilangan pita suaranya. Namun dalam perkembangannya telah banyak penelitian yang menguak bahwa kemampuan oranglain menangkap pesan audio dari seorang tergantung sejauh mana orang tersebut ‘menggunakan’ metode-metode komunikasi efektif, dan tanpa sadar bahasa tubuh adalah pesan ‘tersembunyi’ yang justru lebih banyak memberikan pesan serta lebih mudah dicerna karena sudah membudaya di satu masyarakat atau negara pula.
Mengapa bahasa tubuh begitu mudah dimengerti? Itu karena sebelumnya masyarakat telah ‘bersepakat’. Saat dua orang yang sedang berbincang terus memperlihatkan senyum dan sesekali tertawa, secara sederhana berarti mereka sedang terlibat komunikasi yang hangat. Bahasa tubuh adalah bahasa paling efisien & efektif. Bayangkan saja kita kita harus berbicara dihadapan orang banyak, seberapa sering kita melakukan gerakan tubuh untuk menegaskan teori kita? Bayangkan juga jika satu bahasa tubuh harus kita definisikan dalam bentuk tulisan, butuh berapa kata atau kalimat untuk menjelaskan satu gerakan tubuh? Inilah bahasa tubuh, pesan yang disampaikannya dengan cepat manusia sinergikan antara otak dan hati melihatnya. Karena tak semua hal dapat kita uraikan dengan jelas, bahasa tubuh menjadi alternatif penyampaikan pesan yang sederhana namun sangat mengena. Maka dengan demikian, kita bisa meng-combine peran bahasa tubuh dengan retorika sebagai alat utamanya. Pesan yang disampaikan seorang orator akan lebih menyentuh, diterima dan dimengerti manakala ia mempraktekannya dengan tepat dihadapan pendengar. Allan Pease dalam Bahasa Tubuh-nya mengatakan, “Ada pihak yang beranggapan bahwa mempelajari bahasa tubuh hanyalah cara lain untuk mengeksploitasi atau mendominasi oranglain dengan membaca rahasia atau pikiran orang. Buku ini berusaha memberi wawasan yang lebih luas dalam berkomunikasi, sehingga pembaca lebih dapat memahami oranglain dan diri sendiri.” Ya, dengan bahasa tubuh kita tidak hanya membuat proses retorika berjalan hidup dan segar, namun membuka makna hidup bagi orang yang melihatnya, dan kita sendiri sebagai pelakunya.


Retorika adalah ilmu praktis yang berasal dari pengamatan interaksi manusia, seberapa penting dan efektif seseorang baik dalam beretorika dibandingkan antara kajian secara teoritis dengan pengamatan langsung?

Sebenarnya, ketika seseorang bergelut dalam ilmu praktis apapun, ilmu yang membutuhkan praktek, akan menjadi sia-sia jika tak sekalipun ia mencoba melakukannya. Namun kita tak dapat mengenyampingkan teori-teori yang mendukungnya. Karena ilmu seperti retorika membutuhkan pengantar untuk memulainya, maka kita akan mengetahui apa saja tahapan-tahapan, persiapan, yang harus dilakukan, tidak boleh dilakukan, dan lainnya sebelum langsung terjun ke lapangan. Sehingga pada perjalanannya seakan tidak tepat jika kita mengkotak-kotakkan apakah teori lebih penting daripada praktek langsung di lapangan atau sebaliknya.


Apa yang menjadi tolak ukur seseorang sudah menguasai ilmu retorika?

Pada dasarnya jika sebuah pesan mampu dimengerti oleh subjek lain maka komunikasi sudah berjalan dan bisa dikatakan berhasil. Begitupun retorika, jika pesan mampu dipahami oleh orang-orang yang mendengarnya, maka tujuan retorika sudah tercapai, dan dengan kata lain orang tersebut telah menguasai teknik retorika. Namun apabila diambil dari sudut pandang ilmu atau teori, memang terdapat patokan atau standar-standar dimana seseorang layak disebut “berhasil” menguasai ilmu retorika. Orang tersebut setidaknya memiliki kapasitas seperti definisi-definisi yang dimiliki retorika. Ia harus mampu mengukir kata sehingga kata-kata menjadi seni dan bukan sebatas lisan tanpa makna, ia memiliki kemampuan berbicara didepan orang banyak yang berarti mempunyai mental yang kuat, mampu menuangkan pemikiranya diatas kertas sebaik menguasai materi diatas panggung, dapat memaparkan masalah atau fenomena hingga tuntas dan tertata, menguasai teknik mempertahankan teori yang dimilikinya hingga, capable dalam menggali dan menganalisis banyak fenomena dalam kehidupan, mampu menguasai emosi orang banyak sehingga pendengar seperti masuk dan terlibat langsung dengan masalah yang disampaikan, dengan penyampaiannya ia dapat merubah statusquo atau tirani sebuah kekuasaan dan menggerakan masyarakat untuk membuatnya menjadi lebih baik, memberi nilai-nilai hikmah sehingga manusia menemukan jalannya pada Tuhan sendiri, dapat mentransfer ilmu yang dimilikinya kepada orang yang mendengarnya sehingga secara tak langsung meningkatkan kualitas hidup manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.