Desember 23, 2009

Integrasi Ilmu Umum & Agama

“Dan Tuhan Yahwe juga menetapkan perintah itu atas manusia: “Engkau boleh makan sepuasnya buah dari pohon yang ada di taman ini, tetapi engkau tidak boleh makan buah dari pohon pengetahuan tentang kebaikan dan keburukan ini. Karena, jika engkau memakannya, engkau pasti akan mati.” (Genesis: 16 & 17)
Paling tidak ada tiga ayat lagi dalam Perjanjian Lama yang penulis kutip dari Perspektif Al Qur’an Tentang Manusia dan Agama karya Murtadha Muthahhari, yang membahas tentang penciptaan Adam dan alasan mengapa ia diusir Tuhan dari Taman Eden (surga). Dari penafsiran yang hakikatnya merugikan kaum Nasrani ini, kita akan dapat memaklumi bahwa, posisi agama selanjutnya akan ditempatkan pada kutub berlawanan dengan sains atau ilmu pengetahuan oleh mereka. Dalam Genesis diatas, secara tertulis Tuhan digambarkan sebagai subjek yang tidak menginginkan manusia memiliki ilmu pengetahuan atau tahu tentang sesuatu, untuk konteks lebih jauhnya yaitu proses berfilsafat. Dengan menimba ilmu (memakan buah pengetahuan) manusia menjadi mahkluk pembangkang di mata Tuhan.
Dalam Surat 3 ayat 1-8, diceritakan Hawa terbujuk rayuan ular, hewan yang menurut Injil sebagai hewan paling cerdik di darat, untuk memakan buah pengetahuan. Meski awalnya Hawa menolak dan ragu untuk mengikutinya, namun karena ular berkata dengan buah pengetahuan dirinya akan sadar dan mata manusia akan terbuka pada segala sesuatu, akhirnya Hawa mengajak Adam untuk ikut memakan buah tersebut. Seketika saat memakan buah pengetahuan tadi mata mereka pun terbuka dan mendapati dirinya tidak berbusana sehingga menutupinya dengan rimbunan dedaunan, dan saat itulah Tuhan murka karena manusia akan menandingi dan menjadi diri-Nya.
Menurut Muthahhari, setiap agama memiliki cara pandang yang khas tentang penciptaan manusia. Konsep penciptaan manusia adalah titik penentu sebuah agama atau keyakinan dalam menempatkan manusia selanjutnya, di titik manakah ia layak ditempatkan, kehinaan atau kemuliaan. Dari sana juga konsep ilmu pengetahuan dapat dilihat dengan jelas, karena elemen inilah yang pada akhirnya membentuk jati diri manusia dalam menentukan jalan hidupnya yang paling prinsip.
Islam contohnya yang menempatkan manusia sebagai wakil Allah di dunia sebagai mahkluk yang mendapat pelajaran tentang nama-nama (fakta dan fenomena) langsung dari kreatornya yang Maha Agung. Allah bukan Tuhan yang menginginkan manusia terkungkung dalam kebodohan sebagaimana tafsir Genesis tadi, karena ‘pengkudetaan’ posisi Allah sebagai Tuhan oleh manusia adalah hal yang musykil terjadi. Allah menghadapkan ilmu pengetahuan sebanding lurus dengan keyakinan yang dibenamkan-Nya pada Adam, inilah bentuk integrasi awal yang sangat prinsipil dalam bahasan penciptaan manusia.
Sehingga dapat kita lihat dari alur sejarah peradaban umat manusia, selalu ada jurang pemisah yang cukup luas manakala orang-orang Nasrani memandang ilmu umum (sains) dengan agama. Para pemuka agama mereka memiliki peranan yang amat menentukan tentang apakah sesuatu itu logis atau tidak, lepas apakah mereka menggunakan kajian ilmiah atau teori konspirasi guna menjaga ‘kebenaran’ Injil pula. Maka tidak heran banyak ilmuwan di zamannya yang secara kapasitas mereka menguasai ilmu, namun ujungnya harus tunduk pada keputusan gereja. Traumatik inilah yang menjadikan ketakutan dan kebencian mereka terhadap perkawinan sains dan agama semakin nampak pada era kebangkitan Eropa –mungkin hingga kini. Agama dipandang sudah tidak memiliki tempat untuk ‘menghakimi’ sains, karena, menurut mereka, keduanya memang tidak layak dipertemukan.
Disisi lain Islam pernah berjaya dan berada dalam puncak keilmuan dunia. Bentuk konkrit integrasi sains dan kesalehan individu para pemikirnya jelas terlihat disini, apalagi pada masa kekuasaan Bani Abbasiyah. Tercatat, pada masa kepemimpinan Harun Ar Rasyid dan puteranya, Al Ma’mun, kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, kebudayaan dan kesusastraan berada pada zaman keemasan. Pada masa Al Ma’mun, gerakan intelektual dan ilmu pengetahuan sangat menonjol, dengan didirikannya Baitulhikmah, Baghdad menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Pada tataran akademis, dimana banyak berdiri pusat kajian keilmuan, perpustakaan dengan beratus ribuan koleksi bukunya, dan ditambah dengan royalti dan jaminan kehidupan yang mewah dari pemimpin saat itu, masyarakat Islam sebenarnya telah menjalankan proses, meminjam semangat besar UIN, wahyu memandu ilmu. Dalam Fasl al-Maql fi Maa Baina al-Hikmah wa asy-Syari’ah minal Ittishaal, Ibnu Rusyd menyatakan bahwa syariat dengan akal adalah satu kesatuan, “Reason and divine law are sisters,” ujarnya.
Mengapa umat Islam sempat memiliki sejarah manis semacam ini? Karena Islam mempunyai penafsiran tentang penciptaan manusia yang manis pula. Sains tidak dibenturkan sebagaimana Injil membenturkan hak pengetahuan manusia dengan keinginan Tuhan (wilayah transenden, agama) karena ketakutan yang tidak mungkin terjadi itu. Islam justru menempatkan manusia berilmu dengan derajat yang lebih tinggi dibanding manusia yang tidak mengetahui apa-apa. Al Qur’an membahasnya dengan ayat ini,
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S Al Mujaadilah: 11)
Dari uraian singkat ini, secara sederhana, penulis dapat menyimpulkan bahwa dikotomi antara ilmu pengetahuan umum dan agama dapat menjadi sesuatu yang bias secara hakikat, karena keduanya dibawa oleh gerbong yang sama dalam rel yang satu pula. Ketika dikaji dalam tataran aksiologi pun, keduanya merupakan elemen-elemen yang saling mendukung satu sama lain, bahkan sanggup memenuhi tuntutan nilai dan moral hidup manusia.
Setelah kesimpulan tersebut, pertanyaannya sekarang adalah, apa urgensi ‘integrasi’ keduanya dalam peradaban dunia Islam? Apa kepentingan yang menjadi semangat besar keduanya dalam peradaban Islam? Lebih-lebih dalam konteks modern dimana idealnya Islam ‘tidak boleh pernah’ terpuruk karena memiliki modal besar untuk menguasai dan menyeimbangkan dua elemen dasar manusia tersebut.
Wajah dunia modern sekarang ini adalah globalisasi industri yang dipegang oleh pelaku kapitalis. Orientasi mereka diukur dengan materi, dan itulah yang selalu mereka kejar. Mereka merupakan investor terbesar bagi negara-negara besar yang keputusan politisnya mempengaruhi kebijakan negara-negara lain yang sayangnya lebih lemah dan penakut, termasuk sebagian besar negara-negara Arab. Politik dan ekonomi menjadi senjata yang lebih dari cukup bagi negara-negara maju untuk menyetir kebijakan negara-negara miskin dan berkembang.
Tak dapat dipungkiri bahwa sains atau ilmu pengetahuan merupakan sahabat terbaik kemanusiaan dalam usahanya mewujudkan tujuan manusia, ketika manusia memiliki keinginan untuk mencapai sesuatu, ia dapat memperolehnya dengan jalan dan hasil yang lebih baik dengan sains. Namun asupan yang hanya memenuhi akal budi menjadi omong kosong tanpa balutan gizi hati yang membantu manusia memanusiakan dirinya, kemudian beranjak pada penghormatan bagi sekitarnya dan secara lebih luas memakmurkan bumi tempat ia berdiri.
Sejarah telah mencatat, alur hidup manusia yang tidak menyeimbangkan kemampuan akal budi dan keimanan telah menodai keagungan posisi manusia sendiri. Ketika ilmu agama begitu booming tanpa peran sains yang sepadan, yang ada hanya fanatisme golongan dan kejadian-kejadian mengerikan dalam perjalanan peradaban Islam. Dan dimana sains mengambil alih percaturan dunia tanpa agama yang menyertainya -seperti wajah dunia masa kini- maka semua kekuatan sains telah dikuras untuk memenuhi kebutuhan pribadi, ego, ambisi, penindasan, perbudakan, penipuan dan kecurangan.
Perpaduan antar sains dan kesalehan individu diharapkan dapat meruntuhkan kengerian-kengerian itu, mengulang kembali kejayaan Islam dengan tanpa fanatisme golongan yang dijadikan bendera bani-bani atau tampuk kekuasaan yang hanya memenuhi kepentingan golongan tertentu. Dengan modal yang sangat besar ini sesungguhnya umat Islam harus lebih terpecut untuk maju dan tidak hanya bermain dalam wilayah aman (comfort-zone) saja. Wallahu a'lam.

Sumber-sumber:
~ Muthahhari, Murtadha. 1984. Perspektif Al Qur’an Tentang Manusia Dan Agama. Mizan: Bandung
~ Al Malaky, Ekky. 2003. Remaja Doyan Filsafat, Why Not? Mizan: Bandung
~ Armando, Ade dkk. 2001. Ensiklopedi Islam Untuk Pelajar. PT. Ichtiar Baru van Hoeve: Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.